Tuesday 4 April 2017

Tafsir Surah al-Insyirah

Surah al-Insyirah
أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ (١)وَوَضَعْنَا عَنْكَ وِزْرَكَ (٢)الَّذِي أَنْقَضَ ظَهْرَكَ (٣)وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ (٤)فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا (٥)إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا (٦)فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ (٧)وَإِلَى رَبِّكَ فَارْغَبْ (٨)

Terjemahnya:

Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?, dan Kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu, yang memberatkan punggungmu? dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu, karena Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.Secara umum, surah al-Insyirah{ mengandung perintah Allah swt. kepada Muhammad saw. agar senantiasa berjuang dengan ikhlas dan tawakkal. Allah juga menjelaskan bahwa kesempitan, kesulitan, dan beban berat atas risalah dakwah merupakan sunnatullah, dan hal itu pasti akan berlalu kemudian didatangkan kemudahan. Surah ini menceritakan tentang perincian nikmat-nikmat Allah dan perintah bersyukur atas nikmat-nikmat tersebut. Menurut Sayid Qutub, di dalam surah ini terdapat kabar gembira akan diberikannya kemudahan dan dilepaskannya dari kesulitan dan kesusahan. Juga terdapat pengarahan yang menunjukkan rahasia kemudahan itu dan tali hubungannya yang kuat.
1.    Tafsir Ayat Pertama:أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ (١)اَلَمْ نَشْرَحْ (Bukankah kami telah melapangkan). Istifham atau kata tanya di sini mengandung makna taqrir atau menetapkan yakni, Kami telah melapangkan – لَكَ (untukmu) hai Muhammad – صَدْرَكَ (dadamu?) dengan kenabian dan lain-lainnya. Kata (نَشْرَحْnasyrah{ terambil dari kata (شَرَحَ)syarah{a yang antara lain berarti memperluas, melapangkan baik secara material maupun immaterial. Ayat ini berbicara tentang kelapangan dada dalam perngertian immaterial, yang dapat menghasilkan  kemampuan menerima dan menemukan kebenaran, hikmah dan kebijaksanaan, serta kesanggupan menampung bahkan memaafkan kesalahan dan gangguan-gangguan orang lain.
Dalam ayat ini mengandung pengertian bahwa Allah menegingatkan Nabi saw. tentang anugerah keringanan yang diberikan-Nya sebagaimana terkandung dalam kata (هدىhada> pada surah ad}-D{uh{a. Lapang dada di sini lebih menekankan pada dakwah yang dijalani Nabi, seperti yang dipaparkan oleh Sayyid Quthb “Kami hilangkan beban itu darimu dengan melapangkan dadamu sehingga terasa ringan dan enteng beban tugas itu (tugas dakwah)”. Dengan berlapang dada, maka seseorang bisa menjalankan dakwahnya atau kehidupannya dengan baik, walaupun memikul beban akan terlampaui dengan jiwa yang rela dan hati yang tetap terjaga.
Huruf (ك) kaf yang merupakan pengganti nama yang dirangkaikan dengan kata (صدرك) s}adr/dadamu sepintas terlihat dapat berfungsi sebagai pengganti kata (لك) laka/untukmu. Namun hal tersebut tidak demikian karena kata untukmu disini berfungsi mengisyaratkan bahwa kelapangan dada yang diperoleh Nabi Muhammad saw. itu merupakan satu kekhususan bagi beliau. Kekhusuan yang tidak didapatkan oleh selain beliau baik dalam hal kapasitas maupun substansinya. Sedangkan umat Nabi saw. akan mendapatkan kelapangan dada dan ketengan jiwa dengan kapasitas yang berbeda. Allah swt. Berfirman dalam Q.S. al-An-An’a>m: 125
فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلإسْلامِ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ كَذَلِكَ يَجْعَلُ اللَّهُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ (١٢٥) 
Terjemahnya :Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. dan Barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.Pernah Rasulullah saw. ditanya mengenai ayat ini. Kata mereka, “Bagaimanakah seseorang bisa menjadi lapang dada ya Rasulullah?” Jawab Rasul, “Ada suatu cahaya yang terpancarkan ke dalam dada orang itu sehingga menjadi lapang dan luas untuk menerimanya.” Orang-orang berkata, “Apakah untuk hal itu ada suatu tanda yang bisa dikenali?” Jawab Rasul, “keinginan untuk kembali ke negeri yang abadi (akhirat), sikap menjauh dari negeri yang penuh dengan tipuan (dunia), dan siap-siap menghadapi maut sebelum maut itu tiba.”Mengingat maut akan menimbulkan ketidaksenangan terhadap dunia yang sarat dengan tipu daya, dan mendorong untuk melakukan kebajikan sebagai persiapan diri untuk menghadapi maut. Hal sebaliknya akan terjadi terhadap orang yang telah rusak fitrahnya karena syirik dan kotor jiwanya akibat dosa-dosa dan kejahatan, maka dadanya menjadi sangat sempit yang amat sangat. Kebiasaannya melakukan dosa-dosa membuat lemah untuk meninggalkan hal tersebut. Sehingga beratlah baginya untuk memenuhi seruan agama baru (Islam), dan diapun merasa lemah untuk menanggung seruan tersebut. Perumpamaannya seperti orang yang naik ke lapisan tinggi di angksa, ia akan merasakan sesak yang hebat dalam bernafas.Sedangkan orang yang memeluk Islam akan memperoleh ketenangan. Ketenangan yang dirasakan oleh orang yang mendapatkan petunjuk untuk memeluk Islam ialah karena ia menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah swt. Penyerahan diri ini menghasilkan cahaya yang dapat digunakan oleh pemiliknya membedakan yang h{aq dari yang bat}il, yang utama dari yang tidak utama, yang benar dan yang tidak benar. Dengan demikian menjadi teranglah jalan hidupnya, bagaimana ia melaluinya, dan kemana tujuannya.

2.    Tafsir Ayat Kedua dan Ketiga
وَوَضَعْنَا عَنْكَ وِزْرَكَ (٢)الَّذِي أَنْقَضَ ظَهْرَكَ (٣)وَوَضَعْنَا (Dan Kami telah menghilangkan) telah melenyapkan  – عَنْكَ وِزْرَكَ (darimu dosamu bebanmu). اَللَّذِيْ اَنْقَضَ (Yang memberatkan)  yang memayahkan ظَهْرَكَ (punggungmu). Kedua ayat ini mengisyaratkan bahwa disana pernah ada kesempitan dalam jiwa Rasulullah saw. dalam urusan dakwah yang dibebankan kepada beliau, ada rintangan-rintangan yang sukar dijalannya, dan ada makar dan tipu daya yang dipasang orang disekelilingnya. Juga mengisyaratkan bahwa dada beliau merasa berat memikirkan tugas dakwah yang diembannya. Karena itulah Allah swt. melapangkan dada Nabi saw. atas kebingungan yang disebabkan keingkaran dan ketakaburan kaumnya dan keengganan mereka dalam mengikuti perkara hak yang disampaikan Rasulullah saw.Muhammad Abduh dalam tafsirnya menjelaskan bahwa beban yang berat itu adalah beban psikologis yang diakibatkan oleh keadaan umatnya yang diyakini beliau berada dalam jurang kebinasaan. Namun, saat itu beliau tidak tahu apa solusi yang tepat untuk memperbaiki keadaan masyarakatnya. Maka Allah telah menghilangkan beban itu dari pundak beliau, dengan memberinya bimbingan menuju jalan keselamatan bagi mereka. Dan Allah senantiasa menurunkan wahyunya setiap kali Nabi saw. dalam keadaan bingung tentang sesuatu atau hatinya terasa sempit karena memikirkan sesuatu yang dihadapinya.
Pendapat ini cukup logis mengingat kebiasaan Nabi saw. sebelum menerima wahyu. Sejarah mencatat, Nabi saw. sering menyendiri di gua Hira untuk berkontemplasi, merenung tentang keadaan masyarakatnya yang penuh kezaliman. Beliau berpikir keras mencari jalan keluar bagaimana menanggulangi keadaan masyarakat Arab yang penuh dengan kebejatan moral. Maka, di tengah menghadapi beban psikologis yang begitu berat, Allah swt. mengutus malaikat Jibril untuk memberikan wahyu kepadanya. Dengan wahyu Allah-lah Nabi saw. mendapatkan pencerahan-pencerahan tentang bagaimana menanggulangi umat manusia yang diliputi kezaliman dan kebejatan moral.

3.    Tafsir Ayat Keempat:
وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ (٤)وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ (dan kami tinggikan bagimu sebutanmu) yakni, sebutan namamu. Sebagai contohnya atas peninggian nama Nabi saw. ialah, disebutkannya nama beliau bersama-sama dengan nama Allah di dalam azan, iqamah, tasyahud, khutbah dan lain sebagainya. Muhammad Abduh mengatakan bahwa pada kalimat wa rafa‘na laka z\ikrak, susunan kata “bagimu” sebelum “sebutanmu” tentunya dimaksudkan untuk lebih menguatkan serta lebih cepat menggembirakan Nabi saw. Kesulitan dan kesempitan yang dialami Nabi saw. adalah merupakan sunnatullah, yang juga berlaku pada semua makhluk-Nya. Namun karena ketabahan dan kesabaran beliau maka Allah swt. menganugerahkan pelapangan dada, peringanan beban, dan peninggian sebutan nama Nabi saw.Kata (رَفَعَ) rafa‘a berarti mengangkat atau meninggikan, baik objeknya bersifat material maupun immaterial. Kata (ذِكْرَ) z\ikr/z\ikir  menurut pengertian bahasa adalah menghadirkan sesuatu di dalam benak, baik diucapkan dengan lisan maupun tidak, dan baik ia bertujuan untuk mengingat kembali apa yang telah dilupakan maupun untuk lebih memantapkan sesuatu yang tetap dalam ingatan. Dalam al-Quran, kata z\ikr  dalam berbagai bentuknya pada umumnya dinisbahkan kepada Allah swt. Ada pula yang berdiri sendiri dalam arti wahyu Allah, atau al-Qur’an.   
Penggunaan kata (رَفَعْنَا) rafa‘na> yang merupakan pengganti nama berbentuk jamak (Kami) sebagai pertanda adanya pihak-pihak lain selain Allah swt. yang ikut serta dalam peninggian nama Nabi saw. pihak-pihak tersebut antara lain adalah ilmuwan-ilmuawan yang beraneka ragam disiplin ilmu serta kepercayaan agamanya.

4.  Tafsir Ayat Kelima dan Keenamفَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا (٥)إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا (٦) 
فَاِنَّ مَعَ الْعُسْرِ (Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu) atau kesukaran itu – يُسْرًا (ada kelapangan)  yakni kemudahan. اِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا(Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kelapangan). Nabi saw. banyak sekali mengalami kesulitan dan hambatan dari orang-orang kafir, kemudian beliau mendapatkan kelapangan dan kemudahan yaitu, setelah beliau mengalami kemenangan atas mereka. 
Ayat ini diawali dengan kata fa untuk menunjukkan adanya kaitan antara kedua keadaan tersebut (antara timbulnya kesulitan dan datangnya kemudahan). Digunakan kata sandang ال sebelum  عسر memberi makna umum (yakni semua kesulitan). Akan tetapi yang dimaksud di sini adalah kesulitan-kesulitan yang biasa dijumpai oleh tiap-tiap pribadi dan lingkungannya. Misalnya, kesulitan yang berupa kemiskinan, kelemahan, pengkhianatan kawan, keperkasaan musuh, langkanya sarana yang diperlukan, dan lain sebagainya yang biasa dialami
Melihat kenyataan bahwa kejayaan umat Islam hanya tinggal memiliki julukan dan nama-nama saja, seharusnya ayat ini dijadikan pelajaran bagi umat ini dalam menghadapi problematika kehidupan masa kini yaitu dengan melakukan perubahan dari keadaan yang memilukan menuju kegemilangan Islam kembali. Begitupun juga dalam hal mengatur urusan umat, seharusnya menjadikan Islam sebagai aturan hidup. Nabi Muhammad saw. merintis perubahan dengan menjadikan Islam sebagai subjek perubahan bukan menjadi objek perubahan.Al-Maragi menegaskan ketika Nabi dihimpit oleh kesedihan sebab ulah kaumnya, semangat beliau tidak kendor karenanya dan tekad beliau tidak goyah, akan tetapi Nabi tetap sabar dan tawakkal kepada Allah. Kemudian Allah memperkuat beliau dengan hadirnya orang-orang yang penuh rasa cinta kepada beliau serta memiliki semangat yang berkobar dalam membela Nabi saw. dan membela agama ini. Mereka berpendapat bahwa mereka tidak akan bisa hidup aman kecuali dengan menghancurkan tiang-tiang kemusyrikan keberhalaan. Sesungguhnya tidak ada kesulitan yang tidak teratasi, jika jiwa kita bersemangat untuk keluar dari kesulitan dan mencari jalan pemecahan menggunakan akal pikiran yang jitu dengan bertawakkal sepenuhnya kepada Allah. Inilah kunci keberhasilan, meskipun berbagai godaan, hambatan dan rintangan datang silih berganti. Dalam ayat ini terkandung pelajaran bahwa sesungguhnya Allah swt. akan merubah keadaannya dari kefakiran menjadi kaya, dari kekurangan teman menjadi banyak teman dari permusuhan menjadi kecintaan dan berbagai keadaan lainnya.Mengingat masalah ini mudah menimbulkan keraguan, maka pernyataan Allah swt. dikuatkan dengan اِنَّ atau sesungguhnya.  Lalu mengingat keraguan itu mungkin akan bertambah , berkaitan dengan beberapa kesulitan yang dialami, bahkan makin bertambah lebih gawat sehingga terjadi pengingkaran, maka Allah swt. mengulangi lagi pernyataan tersebut dengan menggunakan kalimat yang sama, اِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا sesungguhnya bersama dengan kesulitan itu pasti ada kemudahan. Sudah barang tentu, makna yang tercakup dalam pernyataan yang kedua ini, lebih luas daripada yang pertama.
 Ibnu Katsir menegaskan, bahwa kesulitan itu dapat diketahui pada dua keadaan, di mana kalimatnya dalam bentuk mufrad (tunggal). Sedangkan kemudahan (al-yusr ) dalam bentuk nakirah (tidak ada ketentuannya) sehingga bilangannya bertambah banyak. Hal ini menunjukkan bahwa kedua ayat tersebut mengandung makna “setiap satu kesulitan akan dibarengi dengan dua kemudahan atau banyak kemudahan.  Sementara ulama memahami kata ma’a dalam arti sesudah dengan merujuk antara lain firman Allah sawt. yang serupa maknanya dan menggunakan kata (بعدba'd (sesudah), yaitu: “Allah akan memberi kelapangan sesudah kesempitan”  (Q.S. at}-T}ala>q/ 65: 7). Namun demikian, tidak pula keliru mereka yang memahami kata itu dalam arti awalnya yakni bersama, dan ketika itu ayat 5 dan 6 menjelaskan bahwa betapapun beratnya kesulitan yang dihadapi, pasti dalam celah-celah itu terdapat kemudahan-kemudahan. Menurut az-Zamaksyari sebagaimana yang dikutip M. Quraish Shihab, menjelaskan bahwa penggunaan kata bersama walaupun maksudnya sesudah adalah untuk menggambarkan betapa dekat dan singkatnya waktu antara kehadiran kemudahan, dengan kesulitan yang sedang dialami. 

5.    Tafsir Ayat Ketujuh dan kedelapan:
فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ (٧)وَإِلَى رَبِّكَ فَارْغَبْ (٨)فَاِذَ فَرَغْتَ (Maka apabilakamu telah selesai) dari salat فَا نْصَبْ (bersungguh-sungguhlah kamu) di dalam berdoa. وَاِلَى رَبِّكَ فَارْغَبْ (Dan hanya kepada Rabbmulah hendaknya kamu berharap)  atau meminta dengan merendahkan diri.
Setiap kesulitan selalu disusul atau dibarengi oleh  kemudahan, demikian pesan ayat-ayat sebelumnya. Kalau demikian, yang dituntut hanyalah kesuungguhan bekerja dibarengi dengan harapan serta optimisme akan kehadiran bantuan Ilahi. Hal inilah yang dipesankan oleh ayat-ayat diatas dengan menyatakan: Maka apabila engkau telah selesai  yakni sedang berada di dalam keluangan setelah tadinya engkau sibuk, maka  bekerjalah dengan sungguh-sungguh hingga engkau letih ­atau hingga tegak dan nyata suatu persoalan baru dan hanya kepada Tuhanmu saja – tidak ada siapa pun selain-Nya – hendaknya engkau berharap  dan berkeinginan penuh guna memperoleh bantuan-Nya dalam menghadapi setiap kesulitan serta melakukan suatu aktivitas. Kata (فرغت) faraghta  terambil dari kata (فرغ) faragha  yang berarti kosong setelah sebelumnya penuh baik secara material maupun immaterial. Seseorang yang telah memenuhi waktunya dengan pekerjaan, kemudian ia menyelesaikan pekerjaan tersebut, maka jarak waktu antara selesainya pekerjaan pertama dan dimulainya pekerjaan selanjutnya dinamai (فراغfara>gh.Kata (فا نصب) fa-ns}ab  terdiri dari rangkaian huruf (ف) fa’  yang biasa diterjemahkan maka  dan (إنصب) ins}ab yang merupakan bentuk perintah dari kata (نصب) nas}aba.Kata nas}aba ini pada mulanya menegakkan sesuatu sehingga nyata dan mantap. Upaya menegakkan ini biasanya dilakukan dengan sungguh-sungguh sehingga dapat mengakibatkan keletihan, dari sinilah kata itu digunakan juga dalam arti letih. Menurut ibnu katsir, maksud dari ayat ke-7 adalah jika engkau (Muhammad) telah selesai mengurus berbagai kepentingan dunia dan semua kesibukannya serta telah memutus semua jaringannya, maka bersungguh-sungguhlah untuk menjalankan ibadah serta melangkahlah kepadanya dengan penuh semangat, dengan hati yang kosong lagi tulus, serta niat karena Allah. ‘Ali bin Abi T{alhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: “Dan jika engkau telah selesai, maka bersungguh-sungguhnlah, yakni dalam berdoa.  

No comments:

Post a Comment

SHALAT DHUHA

Sholat Sunat Dhuha adalah shalat sunnah yang bisa dilakukan setelah matahari terbit dan sebelum dzuhur. Atau kira-kira dari jam 07.30 samp...